Konflik kehutanan di Indonesia bukanlah serangkaian insiden yang terisolasi, melainkan manifestasi struktural dari sejarah panjang penguasaan lahan yang penuh sengketa. Akar permasalahannya tertanam dalam klaim kontrol negara atas kawasan hutan yang sangat luas, yang secara historis sering kali mengabaikan dan menyingkirkan hak-hak adat serta klaim masyarakat lokal. Konflik ini, pada esensinya, adalah pertarungan antara legitimasi hukum formal yang dipegang negara dan legitimasi historis-kultural yang dianut oleh masyarakat
Konflik kehutanan di Indonesia telah mencapai titik krisis struktural yang mendalam, bukan lagi sekadar rangkaian sengketa insidental. Berakar dari paradigma pengelolaan hutan yang sentralistik dan mengabaikan hak-hak masyarakat adat serta lokal, konflik ini diperparah oleh model pembangunan ekstraktif yang memprioritaskan investasi di atas keadilan sosial dan kelestarian lingkungan. Diperkuat oleh legislasi seperti UU Cipta Kerja, ketidakseimbangan kekuasaan antara masyarakat, negara, dan korporasi semakin curam, melucuti perangkat hukum warga dan melegalkan praktik-praktik yang merusak. Mengabaikan akar masalah ini hanya akan melanggengkan siklus perampasan tanah, marginalisasi, dan kerusakan ekologis yang tak terpulihkan.
Oleh karena itu, penyelesaian yang bersifat tambal sulam tidak lagi memadai; reformasi sistemik adalah satu-satunya jalan ke depan. Langkah ini menuntut perubahan fundamental dalam hukum, kebijakan, dan kelembagaan. Pemerintah harus mempercepat dan menyederhanakan pengakuan hutan adat, meninjau ulang secara komprehensif pasal-pasal bermasalah dalam UU Cipta Kerja, dan membentuk badan penyelesaian konflik sumber daya alam yang independen dari konflik kepentingan. Prinsip Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA/FPIC) harus menjadi kewajiban yang tidak bisa ditawar dalam setiap proyek yang bersinggungan dengan wilayah masyarakat, memastikan kedaulatan mereka dihormati sejak awal.
Perubahan ini membutuhkan komitmen kolektif dari semua pihak. Pemerintah didesak untuk beralih dari peran regulator yang berpihak pada modal menjadi fasilitator keadilan sejati. Sektor korporasi harus melampaui retorika keberlanjutan dan secara proaktif mengintegrasikan penghormatan terhadap hak tenurial sebagai inti dari model bisnis mereka. Sementara itu, masyarakat sipil dan publik luas harus terus menjadi pengawas yang kritis, memperkuat pengorganisasian di tingkat tapak, dan tanpa lelah mengadvokasikan reformasi kebijakan yang berpihak pada rakyat dan alam. Inilah saatnya untuk bergerak bersama, mengubah konflik menjadi kolaborasi, dan memastikan bahwa hutan Indonesia menjadi sumber kehidupan dan keadilan bagi semua, bukan hanya untuk segelintir pihak.